Sukague.com- 1. Pendiri Indomie bernama Sudono Salim, lahir pada 16 July 1916 mempunyai nama asli Liem Sioe Liong.
Beliau termasuk salah satu orang terkaya di Indonesia.
2. Merupakan salah satu perusahaan makanan cepat saji paling sukses di Indonesia dan
Produk-produk Indomie dipasarkan ke banyak manca negara termasuk Amerika Serikat, Australia, berbagai negara Asia dan Afrika serta negara-negara Eropa.
Produsen Indomie menganggap mi instan ini sehat dan bergisi karna mengandung energi, protein, niasin, asam folat, pantotenat, mineral besi, natrium, dan berbagai vitamin seperti vitamin A,C, B1, B6, dan B12. Padahal Indomie mengandung pewarna tartrazine yang tidak baik bagi kesehatan apabila dikonsumsi dalam jangka panjang.
3. Tahun 2005, Indomie memecahkan rekor dunia dalam Guinness Book of World Records untuk kategori “Paket Terbesar Mi Instan” dengan menciptakan paket dengan ukuran 3,4m x 2,355m x 0,47m, dengan berat bersih 664,938 kilogram, dimana berat ini adalah 8.000 kali berat standar sebuah paket mi instan.
4. Pada tanggal 13 Desember 2009, Indomie disebut oleh Roger Ebert, kritikus film populer dari Amerika Serikat untuk majalah Chicago Sun-Times, sebagai salah satu kado Natal pilihan di urutan #1
5. Indomie adalah makanan yang sangat populer di Nigeria. Di Nigeria, Indomie diproduksi oleh De-United foods industries ltd, anak perusahaan Dufil Group, hasil joint venture Tolaram Group dari Singapura dengan Salim Group dari Indonesia.
6. Pihak berwenang Taiwan pada awal 7 Oktober 2010 mengumumkan bahwa Indomie yang dijual di negeri mereka mengandung dua bahan pengawet yang terlarang, yaitu metil p-hidroksibenzoat dan asam benzoat. dua unsur itu hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik. Sehingga dilakukan penarikan semua produk mie instan “Indomie” dari pasaran Taiwan.
Semenjak December 6, 2010 Taiwan telah mengizinkan perusahaan Indomie untuk memasarkan kembali produk-produknya.
Menurut Harian Hong Kong, The Standard, dalam pemberitaan Senin, 11 Oktober 2010, harian itu mengungkapkan bahwa dua supermarket terkemuka di Hong Kong, ParknShop dan Wellcome, menarik semua produk Indomie dari rak-rak mereka. Untuk itu, akan dilakukan pengujian atas Indomie dan akan menindaklanjutinya dengan pihak importir dan diler.
Sebaliknya, importir Indomie di Hong Kong, Fok Hing (HK) Trading, menyatakan bahwa mie instan itu tetap aman dikonsumsi dan memenuhi standar di Hong Kong dan Organisasi Kesehatan Dunia. Itu berdasarkan hasil pengujian kualitas pada Juni lalu, yang tidak menemukan adanya bahan berbahaya
7. Menurut The Standard, bila bahan-bahan dikonsumsi, konsumen berisiko muntah-muntah. Selain itu, bila dikonsumsi secara rutin atau dalam jumlah yang substansial, konsumen akan menderita asidosis metabolik, atau terlalu banyak asam di dalam tubuh.
8. di Indonesia pada tahun 2010, indomie dihargai Rp. 1350,00 per bungkusnya atau sekitar 10 sen dolar Amerika. Di Australia, tahun 2009 indomie dijual dengan harga 25 sen per bungkusnya atau AUD 10 untuk satu kardus berisi 40 bungkus indomie, sedangkan di Amerika Serikat pada tahun 2009, indomie biasa dijual dengan harga 1 dolar per 3 bungkusnya.
9. Indomie sendiri mempunyai 40 macam rasa yang bisa dinikmati, sedangkan pop mie mempunyai 12 macam rasa.
10. May 2011, seorang rapper bernama Jesse Two Ocean (J2O) dari London, Inggris menyanyikan lagu rap tentang kegemaran kesehariannya mengkonsumsi Indomie yang berjudul “Indomie”. Diproduksi oleh Acen.
Profil sudono salim PENDIRI INDOMIE
Di ekonomi dan bisnis Indonesia, nama Liem Sioe Liong sudah menjadi legenda. Banyak yang lupa: hampir setengah abad yang lalu, pemuda perantau dari Futsing, Hokkian, Cina Selatan, itu memulai upayanya dengan magang pada seorang paman yang berdagang jagung, beras, kedelai
Lahir sebagai Lin Shao-liang, anak kedua dari tiga bersaudara ini mengikuti jejak abangnya, Liem Sioe Hie, yang sudah mendarat di Jawa sembilan tahun lebih awal. ”Dua tahun pertama di Indonesia amat berat,” tutur Shao-liang, yang belakangan dikenal juga dengan nama Sudono Salim.
Ketika Jepang datang, ia mulai berdagang minyak kacang kecil- kecilan di Kudus, Jawa Tengah. Kemudian mencoba nasib sebagai penyalur cengkih di kota sigaret kretek itu.
Tetapi, ketika Jepang menyerah, ia sempat disrempet musibah. Berkarung-karung uang Jepang miliknya mendadak dinyatakan tidak laku, karena pemerintah menerbitkan uang baru. Ketika itu, tiap orang menerima satu rupiah uang baru tadi. ”Keluarga saya delapan orang, jadi dapat delapan rupiah, wah, edan,” katanya mengenang.
Liem lalu mengubah taktik dagangnya. ”Bisnis itu tidak boleh atas dasar uang, tapi harus atas dasar barang,” ia seperti memberi nasihat. Sejak itu pula ia lebih memusatkan usaha diversifikasi. ”Dulu dagang susah, orang banyak bicara,” katanya. ”Tapi sejak Orde Baru, dipimpin oleh Presiden Soeharto, saya ambil keputusan: apa yang harus dilakukan sebagai orang dagang.”
Kini, bos perusahaan induk Liem Investors di Hong Kong, dan PT Salim Economic Development Corporation (SEDC) di Jakarta, itu sering disebut sebagai ”pengusaha terkaya nomor enam di dunia”. Jumlah hartanya mengalahkan keluarga Rotschild dan Rockefeller. Pada 1984, kekayaan kelompok ini ditaksir sekitar US$ 7 milyar. Artinya, sama dengan jumlah uang yang beredar di Indonesia ketika itu yang, menurut beberapa sumber, meliputi sekitar Rp 7 trilyun.
Liem pindah ke Jakarta pada 1951, dan mulai mengembangkan usahanya. Mula-mula ia mendirikan pabrik sabun, kemudian pabrik paku, ban sepeda, pengilangan karet, kerajinan, dan makanan. Ia juga bergerak di bidang pengusahaan hutan, bangunan, perhotelan, asuransi, perbankan, bahkan toko pakaian. Kunci sukses baginya adalah jasa. ”Kalau jasa itu jalannya betul, otomatis bisa jual lancar,” katanya, dalam bahasa Indonesia yang tetap patah-patah.Namun, Liem keberatan usahanya dikatakan menerobos ke semua penjuru bisnis. ”Orang suka bilang ini-itu punya Liem Sioe Liong. Gila apa? Tapi kalau orang lain suka pakai nama Liem, bisa bilang apa?” katanya kepada majalah TEMPO, media massa pertama yang mewawancarainya, Maret 1984.
Selain dikenal sebagai ”raja bank”, kelompok Liem juga disebut-sebut sebagai satu di antara ”raja semen” di dunia. Dalam setiap usaha patungan, kelompok ini selalu menonjol sebagai pemilik saham terbesar. Dan langkah itu bukannya tanpa pertimbangan. Dengan memiliki 51% saham perusahaan Hagemeier di Belanda, misalnya, ”Kami bisa menentukan policy perusahaan,” kata Liem. ”Juga supaya bisa mengawasi ekspor dari Indonesia, misalnya hasil bumi.”
Sejak 1982, gebrakan kelompok Liem di luar negeri semakin mantap. Ia membeli, antara lain, 80% saham Hibernia Banchares, San Francisco, disusul 54,4% saham Shanghai Land Investment. Tetapi, Maret 1986, ia tersandung dalam usaha penanaman modal di Provinsi Fujian, RRC, bekas daerah kelahirannya.
Di kawasan itu, di sebuah desa peternakan tiram di Teluk Meizhou, terdapat proyek pengilangan minyak senilai US$ 800 juta. Usaha ini merupakan patungan antara China Fujian Petroleum Co., China Petrochemical International Corp., Fujian Investment & Enterprise Ltd., dan China Pacific Petroleum Ltd. Perusahaan terakhir ini, menurut surat kabar The Asian Wall Street Journal, didaftarkan di Liberia, dan ”dikontrol oleh Mr. Liem”.
Menjelang usia 70, ”Oom Liem” ini mengaku tidak lagi bekerja terlalu keras. ”Setiap hari saya masuk kantor jam sepuluh pagi, lalu terima tamu,” katanya. Ia tidak merokok, juga tidak menjamah minuman keras. Kegemarannya terbatas: jogging tujuh kilometer setiap pagi, dan, kabarnya, mengunjungi klub malam. ”Saya juga sudah jarang sekali teken cek,” katanya.
Lalu, siapa yang akan menggantikan tahta si Oom? ”Semua anak sama,” katanya. ”Yang perlu di sini teamwork. Yang bilang Anton bakal ganti saya itu orang luar.” Ia, memang, seperti lebih menekankan perlunya tenaga profesional.
Profil sudono salim PENDIRI INDOMIE
Di ekonomi dan bisnis Indonesia, nama Liem Sioe Liong sudah menjadi legenda. Banyak yang lupa: hampir setengah abad yang lalu, pemuda perantau dari Futsing, Hokkian, Cina Selatan, itu memulai upayanya dengan magang pada seorang paman yang berdagang jagung, beras, kedelai
Lahir sebagai Lin Shao-liang, anak kedua dari tiga bersaudara ini mengikuti jejak abangnya, Liem Sioe Hie, yang sudah mendarat di Jawa sembilan tahun lebih awal. ”Dua tahun pertama di Indonesia amat berat,” tutur Shao-liang, yang belakangan dikenal juga dengan nama Sudono Salim.
Ketika Jepang datang, ia mulai berdagang minyak kacang kecil- kecilan di Kudus, Jawa Tengah. Kemudian mencoba nasib sebagai penyalur cengkih di kota sigaret kretek itu.
Tetapi, ketika Jepang menyerah, ia sempat disrempet musibah. Berkarung-karung uang Jepang miliknya mendadak dinyatakan tidak laku, karena pemerintah menerbitkan uang baru. Ketika itu, tiap orang menerima satu rupiah uang baru tadi. ”Keluarga saya delapan orang, jadi dapat delapan rupiah, wah, edan,” katanya mengenang.
Liem lalu mengubah taktik dagangnya. ”Bisnis itu tidak boleh atas dasar uang, tapi harus atas dasar barang,” ia seperti memberi nasihat. Sejak itu pula ia lebih memusatkan usaha diversifikasi. ”Dulu dagang susah, orang banyak bicara,” katanya. ”Tapi sejak Orde Baru, dipimpin oleh Presiden Soeharto, saya ambil keputusan: apa yang harus dilakukan sebagai orang dagang.”
Kini, bos perusahaan induk Liem Investors di Hong Kong, dan PT Salim Economic Development Corporation (SEDC) di Jakarta, itu sering disebut sebagai ”pengusaha terkaya nomor enam di dunia”. Jumlah hartanya mengalahkan keluarga Rotschild dan Rockefeller. Pada 1984, kekayaan kelompok ini ditaksir sekitar US$ 7 milyar. Artinya, sama dengan jumlah uang yang beredar di Indonesia ketika itu yang, menurut beberapa sumber, meliputi sekitar Rp 7 trilyun.
Liem pindah ke Jakarta pada 1951, dan mulai mengembangkan usahanya. Mula-mula ia mendirikan pabrik sabun, kemudian pabrik paku, ban sepeda, pengilangan karet, kerajinan, dan makanan. Ia juga bergerak di bidang pengusahaan hutan, bangunan, perhotelan, asuransi, perbankan, bahkan toko pakaian. Kunci sukses baginya adalah jasa. ”Kalau jasa itu jalannya betul, otomatis bisa jual lancar,” katanya, dalam bahasa Indonesia yang tetap patah-patah.Namun, Liem keberatan usahanya dikatakan menerobos ke semua penjuru bisnis. ”Orang suka bilang ini-itu punya Liem Sioe Liong. Gila apa? Tapi kalau orang lain suka pakai nama Liem, bisa bilang apa?” katanya kepada majalah TEMPO, media massa pertama yang mewawancarainya, Maret 1984.
Selain dikenal sebagai ”raja bank”, kelompok Liem juga disebut-sebut sebagai satu di antara ”raja semen” di dunia. Dalam setiap usaha patungan, kelompok ini selalu menonjol sebagai pemilik saham terbesar. Dan langkah itu bukannya tanpa pertimbangan. Dengan memiliki 51% saham perusahaan Hagemeier di Belanda, misalnya, ”Kami bisa menentukan policy perusahaan,” kata Liem. ”Juga supaya bisa mengawasi ekspor dari Indonesia, misalnya hasil bumi.”
Sejak 1982, gebrakan kelompok Liem di luar negeri semakin mantap. Ia membeli, antara lain, 80% saham Hibernia Banchares, San Francisco, disusul 54,4% saham Shanghai Land Investment. Tetapi, Maret 1986, ia tersandung dalam usaha penanaman modal di Provinsi Fujian, RRC, bekas daerah kelahirannya.
Di kawasan itu, di sebuah desa peternakan tiram di Teluk Meizhou, terdapat proyek pengilangan minyak senilai US$ 800 juta. Usaha ini merupakan patungan antara China Fujian Petroleum Co., China Petrochemical International Corp., Fujian Investment & Enterprise Ltd., dan China Pacific Petroleum Ltd. Perusahaan terakhir ini, menurut surat kabar The Asian Wall Street Journal, didaftarkan di Liberia, dan ”dikontrol oleh Mr. Liem”.
Menjelang usia 70, ”Oom Liem” ini mengaku tidak lagi bekerja terlalu keras. ”Setiap hari saya masuk kantor jam sepuluh pagi, lalu terima tamu,” katanya. Ia tidak merokok, juga tidak menjamah minuman keras. Kegemarannya terbatas: jogging tujuh kilometer setiap pagi, dan, kabarnya, mengunjungi klub malam. ”Saya juga sudah jarang sekali teken cek,” katanya.
Lalu, siapa yang akan menggantikan tahta si Oom? ”Semua anak sama,” katanya. ”Yang perlu di sini teamwork. Yang bilang Anton bakal ganti saya itu orang luar.” Ia, memang, seperti lebih menekankan perlunya tenaga profesional.
Sumber :
No comments:
Post a Comment